Mari Baca | Mari Copy |
Pada zaman Romawi Kuno, gendut masih dianggap sebagai lambang kesuburan sehingga kaum laki-laki akan lebih tertarik pada perempuan bertubuh montok. Bahkan menurut cerita, Ratu Cleopatra yang digambarkan memiliki kecantikan yang sempurna itu juga bertubuh gendut.
Tak cuma dalam peradaban asing, nenek moyang bangsa Indonesia juga pernah meyakini kegemukan sebagai sesuatu yang menarik. Dalam banyak relief peninggalan kerajaan masa lalu, perempuan lebih banyak digambarkan memiliki pinggul dan payudara besar yang pada saat ini mungkin dianggap gemuk.
Anggapan bahwa gemuk itu menarik sampai sekarang juga masih bisa ditemukan di beberapa wilayah, meski perlahan mulai ditinggalkan. Kepulauan Samoa di Samudera Pasifik misalnya, terkenal dengan perempuan-perempuan bertubuh subur karena secara genetik memang mudah gemuk.
Contoh lain yang lebih ekstrem adalah Mauritania, sebuah wilayah di barat laut Benua Afrika. Di wilayah ini, perempuan gemuk dianggap cantik dan memiliki status sosial yang lebih tinggi sehingga muncul tradisi menggemukkan diri yang disebut leblouh.
Dalam tradisi leblouh, perempuan sejak anak-anak dipaksa makan makanan berlemak dan minum susu secara berlebihan agar tubuhnya cukup gemuk ketika tiba waktunya untuk menikah. Di masa lalu, perempuan yang tidak gemuk tidak akan laku karena justru dianggap tidak menarik.
Sangat jauh berbeda ketika dibandingkan dengan anggapan orang pada masa kini, tubuh gendut sangat dihindari karena dianggap tidak menarik. Tidak hanya itu, tubuh gendut juga dianggap sebagai faktor risiko berbagai penyakit mulai dari jantung hingga kanker.
Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Hardinsyah membenarkan bahwa tubuh gemuk bukanlah sesuatu yang perlu dibanggakan kalau isinya adalah lemak. Kalaupun besar dianggap menarik, maka yang dimaksud adalah besar yang berotot bukan yang berlemak.
"Berotot itu beda dengan gemuk. Berbobot itu baru bagus kalau isinya otot, bukan lemak. Itupun kalau berlebihan tetap tidak bagus, misalnya bahunya 3 kali lebih besar dari pinggulnya kan malah aneh," tutur Prof Hardinsyah saat dihubungi detikHealth, seperti ditulis Rabu (15/8/2012).
Gemuk yang isinya lemak biasanya disebabkan oleh asupan kalori yang kurang diimbangi dengan pembakaran energi. Cadangan kalori dari makanan yang berlebih, yang tidak dipakai sebagai sumber energi untuk beraktivitas akhirnya disimpan dalam bentuk lemak yang membuat tubuh makin gemuk.
Alih-alih menggambarkan kemakmuran, tubuh gemuk yang dipicu oleh timbunan lemak justru menunjukkan kesan malas bergerak dan sukanya makan enak. Memang tidak selalu demikian, sebab tidak sedikit yang menjadi gemuk karena metabolismenya terganggu atau komposisi hormonnya berbeda.
Selain memberi kesan negatif, gemuk juga menjadi faktor risiko berbagai penyakit. Tubuh gemuk, terutama yang terpusat di sekitar perut merupakan faktor risiko diabetes melitus atau kencing manis, gangguan jantung dan pembuluh darah dan bahkan kanker.
Gemuk sebagai simbol kemakmuran saat ini sudah mulai ditinggalkan. Terlalu kurus juga tidak lebih baik, maka yang dianjurkan adalah memiliki berat badan ideal sesuai perbandingan dengan tinggi badan masing-masing yang dinyatakan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) antara 18-25 kg/m2.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar