Secara normatif, pengadilan adalah
tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya
“pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya.
Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja
“demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa.
Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara
akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan
Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur,
bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang
Maha Adil.
Namun kenyataannya tidak selalu sejalan
dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di
dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil
pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang
terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan.
Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya.
Memang sulit untuk mengukur secara
matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu.
Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat
dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau
tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan
hukum” yang digunakan Hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar
argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu
tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat
menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1. Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
1. Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
2. Hakim sengaja menggunakan dalil hukum
yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain
seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi indepensi Hakim yang bersangkutan.
3. Hakim tidak memiliki cukup waktu
untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu
banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang
relatif singkat.
4. Hakim malas untuk meningkatkan
pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas
putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya
tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.
Secara ideal, semua kemungkinan yang
disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga peradilan. Jika hal
itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan yang seharusnya
menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya
ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga
pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya
menjadi penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi
pihak yang menciptakan ketidakadilan. Dan itu terjadi pada kasus yang
melibatkan petani kecil di Jawa Timur.
Adalah Budi Purwo Utomo yang menjadi
korban ketidakadilan lembaga peradilan. Ia adalah seorang petani kecil
di Kediri yang mencoba berinisiatif mengembangkan benih jagung.
Ironisnya, upayanya untuk mengembangkan benih jagung berujung pada
hukuman pidana yang ditetapkan oleh pengadilan dari semua tingkatan.
Ketidakadilan terjadi karena hukuman dijatuhkan untuk sesuatu yang tidak
dilakukannya.
Duduk masalah dan komentar
Kasusnya bermula ketika Budi diadili oleh Pengadilan Negeri Kediri atas tuduhan melakukan sertifikasi benih jagung (Putusan Pengadilan Negeri Kediri No. 516/Pid.B/2005PN.Kdi).
Budi didakwa melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Rumusan dakwaan Jaksa No. Reg.Perkara: PDM-800/KDIRI/0705, adalah sbb:
Kasusnya bermula ketika Budi diadili oleh Pengadilan Negeri Kediri atas tuduhan melakukan sertifikasi benih jagung (Putusan Pengadilan Negeri Kediri No. 516/Pid.B/2005PN.Kdi).
Budi didakwa melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Rumusan dakwaan Jaksa No. Reg.Perkara: PDM-800/KDIRI/0705, adalah sbb:
“terdakwa melakukan, menyuruh lakukan
dan turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja melakukan sertifikasi
tanpa ijin dalam hal melakukan pembenihan jagung varietas Bisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman”.
Ancaman pidananya didasarkan pada 55 ayat (1) KUHP juncto Pasal 61 ayat (1) huruf b UU RI No, 12 Tahun 1992.
Pasal 55 ayat (1) KUHP berbunyi:
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana, (i) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu.”
Pasal 61 ayat (1b) UU No. 12 Tahun 1992 berbunyi:
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana, (i) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu.”
Pasal 61 ayat (1b) UU No. 12 Tahun 1992 berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja melakukan
sertifikasi tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).”
Di dalam amar putusannya, Hakim memutuskan sbb:
“Menyatakan terdakwa Budi Purwo Utomo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: turut serta dengan sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin.”
Fokus utama tindak pidana ini adalah: barang siapa dengan sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin.
“Menyatakan terdakwa Budi Purwo Utomo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: turut serta dengan sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin.”
Fokus utama tindak pidana ini adalah: barang siapa dengan sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin.
Apa yang dimaksud dengan sertifikasi telah diatur dengan tegas di dalam UU No. 12 Tahun 1992, Pasal 1 butir 6:
“Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang harus dibuktikan adalah: apakah terdakwa melakukan kegiatan memberikan atau menerbitkan sertifikat benih tanaman?
Di dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1992 sangat jelas ditentukan bahwa: sertifikasi dilakukan oleh Pemerintah. Namun Pemerintah dapat pula memberikan ijin kepada perorangan atau badan hukum untuk menerbitkan sertifikat benih tanaman. Untuk memperoleh ijin tersebut harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Apa yang dilakukan oleh Budi sebagai terdakwa?
“Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang harus dibuktikan adalah: apakah terdakwa melakukan kegiatan memberikan atau menerbitkan sertifikat benih tanaman?
Di dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1992 sangat jelas ditentukan bahwa: sertifikasi dilakukan oleh Pemerintah. Namun Pemerintah dapat pula memberikan ijin kepada perorangan atau badan hukum untuk menerbitkan sertifikat benih tanaman. Untuk memperoleh ijin tersebut harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Apa yang dilakukan oleh Budi sebagai terdakwa?
Di dalam putusan hakim, khususnya di bagian pertimbangan hukum (menimbang), halaman 34 ditegaskan sbb:
“Menimbang, bahwa oleh karena itu perbuatan penangkaran benih jagung hibrida yang dilakukan oleh terdakwa yang bekerja sama dengan para saksi tersebut merupakan bagian dari kegiatan sertifikasi.”
“Menimbang, bahwa oleh karena itu perbuatan penangkaran benih jagung hibrida yang dilakukan oleh terdakwa yang bekerja sama dengan para saksi tersebut merupakan bagian dari kegiatan sertifikasi.”
Kesimpulan hakim tersebut sungguh
menggelikan. Bagaimana mungkin kegiatan penangkaran benih disimpulkan
sebagai kegiatan sertifikasi, padahal di dalam Pasal 1 butir 6 UU No. 12
Tahun 1992 dengan tegas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
sertifikasi adalah: adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman
setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi
semua persyaratan untuk diedarkan.
Dengan alasan itulah Budi melalui
Pembelanya mengajukan Kasasi, bahwa Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten
Kediri telah salah dalam menerapkan hukum. Namun apa yang terjadi di
dalam putusan Kasasi yang dimaksud? Dalam Putusan Kasasi No.
783.K/Pid/2007 atas perkara Budi Purwo Utomo tersebut justru kembali
tercipta ketidakadilan yang cukup serius bagi Budi.
Putusan Kasasi dibuat berdasarkan permohonan kasasi, baik dari Penuntut Umum maupun dari Terdakwa dalam perkara pidana yang diputus oleh Pengadilan Negeri Kediri No. 516/PID.B/2005/PN.Kdi, pada tanggal 13 Januari 2006.
Putusan Kasasi dibuat berdasarkan permohonan kasasi, baik dari Penuntut Umum maupun dari Terdakwa dalam perkara pidana yang diputus oleh Pengadilan Negeri Kediri No. 516/PID.B/2005/PN.Kdi, pada tanggal 13 Januari 2006.
Kronologi putusannya adalah sbb:
1. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Kediri tersebut, terdakwa Budi Purwo Utama dinyatakan terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: turut serta dengan
sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin.
2. Berdasarkan pernyataan tersebut, terdakwa dihukum 6 bulan percobaan 1 tahun.
3. Terhadap putusan tersebut, Penuntut Umum mengajukan banding atas pengenaan hukuman yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.
4. Putusan Pengadilan Tinggi menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Kediri tersebut.
5. Terhadap putusan Pengadilan Tinggi, baik Penuntut Umum maupun Terdakwa sama-sama mengajukan Kasasi.
6. Permohonan Kasasi Penuntut Umum berdasarkan alasan bahwa pengenaan hukum tidak memenuhi rasa keadilan.
7. Permohonan Kasasi Terdakwa pada Keberatan Kedua menyatakan bahwa Judex Factie telah menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya atau ada hukum yang tidak diterapkan.
8. Dalil-dalil Terdakwa adalah bahwa Judex Factie telah salah dalam mengartikan/ memahami uraian unsur “Sertifikasi Tanpa Ijin”. Dan oleh karena itu telah salah pula dalam penerapan hukumnya ke dalam kasus a-quo. Beberapa alasan Kasasi Terdakwa antara lain:
a. Judex Factie telah mengartikan/menyimpulkan bahwa penangkaran benih jagung atau memproduksi benih jagung tanpa ijin merupakan bagian dari kegiatan “Sertifikasi Tanpa Ijin” sebagaimana dimaksud Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman;
b. Bahwa pengertian Judex Factie mengenai “Sertifikasi Tanpa Ijin” sebagaimana dimaksud Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 1992 adalah salah;
c. Bahwa ada beberapa hal (yang harus dibuktikan) jika kita akan menyatakan Terdakwa melakukan kegiatan “Sertifikasi”, yaitu:
i. Benarkah Terdakwa berniat menerbitkan “Sertifikat Benih Tanaman”?
ii. Benarkah Terdakwa telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan niatnya menerbitkan Sertifikat Benih Tanaman?
iii. Benarkah Terdakwa telah menyediakan atau sekurang-kurangnya berupaya menyediakan semua perangkat yang dibutuhkan guna melakukan pemeriksaan dan pengujian atas benih-benih tanaman yang dimohonkan kepadanya oleh Pemohon Sertifikat untuk diterbitkannya Sertifikat Benih tersebut?
2. Berdasarkan pernyataan tersebut, terdakwa dihukum 6 bulan percobaan 1 tahun.
3. Terhadap putusan tersebut, Penuntut Umum mengajukan banding atas pengenaan hukuman yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.
4. Putusan Pengadilan Tinggi menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Kediri tersebut.
5. Terhadap putusan Pengadilan Tinggi, baik Penuntut Umum maupun Terdakwa sama-sama mengajukan Kasasi.
6. Permohonan Kasasi Penuntut Umum berdasarkan alasan bahwa pengenaan hukum tidak memenuhi rasa keadilan.
7. Permohonan Kasasi Terdakwa pada Keberatan Kedua menyatakan bahwa Judex Factie telah menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya atau ada hukum yang tidak diterapkan.
8. Dalil-dalil Terdakwa adalah bahwa Judex Factie telah salah dalam mengartikan/ memahami uraian unsur “Sertifikasi Tanpa Ijin”. Dan oleh karena itu telah salah pula dalam penerapan hukumnya ke dalam kasus a-quo. Beberapa alasan Kasasi Terdakwa antara lain:
a. Judex Factie telah mengartikan/menyimpulkan bahwa penangkaran benih jagung atau memproduksi benih jagung tanpa ijin merupakan bagian dari kegiatan “Sertifikasi Tanpa Ijin” sebagaimana dimaksud Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman;
b. Bahwa pengertian Judex Factie mengenai “Sertifikasi Tanpa Ijin” sebagaimana dimaksud Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 1992 adalah salah;
c. Bahwa ada beberapa hal (yang harus dibuktikan) jika kita akan menyatakan Terdakwa melakukan kegiatan “Sertifikasi”, yaitu:
i. Benarkah Terdakwa berniat menerbitkan “Sertifikat Benih Tanaman”?
ii. Benarkah Terdakwa telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan niatnya menerbitkan Sertifikat Benih Tanaman?
iii. Benarkah Terdakwa telah menyediakan atau sekurang-kurangnya berupaya menyediakan semua perangkat yang dibutuhkan guna melakukan pemeriksaan dan pengujian atas benih-benih tanaman yang dimohonkan kepadanya oleh Pemohon Sertifikat untuk diterbitkannya Sertifikat Benih tersebut?
Namun Judex Factie tidak membuktikan bahwa Terdakwa melakukan hal-hal demikian.
d. Bahwa pengertian Sertifikasi yang benar adalah proses pemberian Sertifikat Benih Tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi persyaratan untuk diedarkan (vide: Pasal 1 butir 6 UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman). Dengan demikian unsur pokok dan terpenting dari Sertifikasi itu sendiri adalah pemberian Sertifikat Benih Tanaman. Adapun pemberian Sertifikat Benih Tanaman tersebut setelah dilakukan atau didahului dengan beberapa tahapan, di antaranya adalah: pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan.
d. Bahwa pengertian Sertifikasi yang benar adalah proses pemberian Sertifikat Benih Tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi persyaratan untuk diedarkan (vide: Pasal 1 butir 6 UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman). Dengan demikian unsur pokok dan terpenting dari Sertifikasi itu sendiri adalah pemberian Sertifikat Benih Tanaman. Adapun pemberian Sertifikat Benih Tanaman tersebut setelah dilakukan atau didahului dengan beberapa tahapan, di antaranya adalah: pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan.
e. Berdasarkan keterangan saksi-saksi
telah terbukti bahwa saksi tidak tahu atau tidak melihat Terdakwa
melakukan kegiatan pemeriksaan, pengujian laboratorium dan pemasangan
label serta pengeluaran sertifikat benih tanaman. Oleh karena itu
Penasehat Hukum Terdakwa yakin yang dilakukan Terdakwa memang bukan
dalam konteks melakukan sertifikasi yang meliputi proses kegiatan
pemeriksaan, pengujian laboratorium dan pemasangan label serta
pengeluaran sertififikat benih. Semua tahapan tersebut harus dipenuhi
untuk menyatakan Terdakwa melakukan sertifikasi.
f. Menurut keterangan saksi ahli M.
Najih di persidangan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sertifikasi
tanpa ijin adalah bila perorangan atau badan hukum yang tidak mempunyai
kewenangan (ijin Menteri) telah mengeluarkan Sertifikat Benih Tanaman.
Seseorang yang hanya menanam jagung saja tidak bisa dikatakan melakukan
kegiatan sertifikasi.
g. Bahwa berdasarkan keterangan
saksi-saksi dan keterangan ahli maka telah dapat dibuktikan bahwa
Terdakwa yang hanya menanam jagung adalah tidak termasuk melakukan
kegiatan sertifikasi tanpa ijin sebagaimana dimaksud Pasal 61 ayat (1)
huruf b UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman.
9. Keberatan Ketiga dalam Permohonan
Kasasi Terdakwa menyebutkan bahwa PN Kediri telah menyinggung Hak
Perlindungan Varietas Tanaman dari PT BISI sebagaimana ternyata dalam
pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kediri halaman 33
yang isinya: “Menimbang bahwa hasil persilangan tanaman jagung FS4 dan
FS9 menghasilkan jagung hibrida BISI-2 yang merupakan jenis jagung
unggul telah memperoleh sertifikasi dari Departemen Pertanian dan
varietas tanaman jagungnya telah dilepas oleh Menteri
Pertanian/Pemerintah untuk diedarkan dan karenanya juga mendapatkan Hak
Perlindungan Varietas Tanaman (Hak PVT) sesuai UU No. 29 Tahun 2000.
10. Pertanyaan Kuasa Hukum Terdakwa
adalah: dari manakah dasar putusan Hakim yang menyatakan bahwa jagung
FS4 dan FS6 telah mendapatkan Hak Perlindungan Varietas Tanaman (Hak
PVT), padahal saksi-saksi Sugian, Hadi Winarno, Suryo dan Triono
Hardianto menyatakan saat ini PT BISI belum mempunyai Hak Perlindungan
Varietas Tanaman (Hak PVT), sedangkan saksi Jumidi, Khusen, Dawam, dan
Slamet menyatakan tidak tahu?.
11. Dalam perkara a-quo yang paling
mungkin didakwakan kepada Terdakwa adalah pelanggaran terhadap Hak PVT
yang dimiliki PT BISI yang dilindungi berdasarkan UU No. 29 tahun 2000
tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Namun sebelum memutuskan adanya
pelanggaran Hak PVT terlebih dahulu harus dibuktikan kepemilikan Hak PVT
berdasarkan tanda bukti Hak PVT yang diterbitkan oleh Departemen
Pertanian c.q. Kantor Perlindungan Varietas Tanaman. Selain itu juga
harus diuraikan dan dibuktikan dalam proses pengadilan tentang bagian
mana dari Hak PVT yang dilanggar Terdakwa. Pada perkara a-quo jelas
bahwa Judex Factie tidak menggunakan UU No. 29 Tahun 2000 sebagai dasar
untuk memutuskan pelanggaran tersebut, akan tetapi Judex Factie
menggunakan UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman,
khususnya Pasal 61 ayat (1) huruf b tentang Sertifikasi Tanpa Ijin, yang
justru merupakan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Terdakwa.
Dalil-dalil Kuasa Hukum Terdakwa cukup
mengena untuk diungkapkan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri Kediri telah salah dalam menerapkan undang-undang.
Sayang sekali bahwa para Hakim Agung sepertinya tidak memperhatikan
dalil-dalil tersebut. Hakim-hakim Agung justru memberikan pertimbangan
hukum sebagai berikut:
1. Alasan-alasan Pemohon Kasasi/Terdakwa tidak dapat dibenarkan karena Judex Factie tidak salah dalam menerapkan hukum.
2. Alasan-alasan Pemohon Kasasi/Penuntut
Umum juga tidak dapat dibenarkan karena Judex Factie tidak salah dalam
menerapkan hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Permohonan Kasasi dari Terdakwa dan Penuntut Umum harus ditolak.
Kiranya dapat dibaca dengan jelas bahwa
putusan Kasasi tersebut merupakan putusan paling ajaib yang telah dibuat
Hakim Kasasi. Dalam putusan itu Hakim tidak memberikan argumentasi
apapun untuk menyatakan bahwa alasan-alasan atau dalil-dalil Pemohon
Kasasi, khususnya dari Terdakwa, adalah tidak benar. Padahal
alasan-alasan atau dalil-dalil Pemohon Kasasi/Terdakwa cukup baik dan
memberikan pencerahan bagaimana seharusnya membuktikan unsur-unsur
pidana yang dituduhkan kepada seorang Terdakwa. Seharusnya Hakim Kasasi
menguji terlebih dahulu di mana kekeliruan dalil-dalil Pemohon
Kasasi/terdakwa sebelum menyatakan alasan-alasan Terdakwa tidak dapat
dibenarkan. Hakim Kasasi harus membuktikan ketidak benaran alasan-alasan
tersebut dengan argumentasi hukum yang baik dan benar. Hal ini tidak
dilakukan oleh Hakim Kasasi tersebut. Dengan demikian, Putusan Kasasi
ini merupakan preseden yang sangat buruk, di mana Hakim memutuskan
hukuman bagi seseorang tanpa memberikan argumentasi hukum apapun.
Kiranya putusan Kasasi tersebut telah menciderai rasa keadilan
masyarakat, dan menunjukkan betapa buruknya proses penegakan hukum di
Indonesia. Hakim Kasasi telah menunjukkan kepada publik betapa tidak
profesionalnya dalam menangani perkara. Pantas jika lembaga peradilan
Indonesia tidak dipercaya lagi oleh para pencari keadilan.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar